Selamat berbelanja, Login

HUKUM PAKAIAN NAJIS KETIKA BEPERGIAN

24 Mar 2016 Tuntunan Sholat

Bagaimana jika dalam bepergian dan pakaian yang kita gunakan dalam keadaan najis,,dan itu pakaian cuma satu-satunya,,,apa boleh mngerjakan shalat?


Bismillahirahm anirahim,
اللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيْمَ وَعَلى) آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ (فِي رِوَايَـةٍ: وَ بَارِكْ) عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى) آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Assalamu'alaykum warahmatullah wabarakatuh,

Menggunakan pakaian suci, termasuk syarat sah shalat. Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
, إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ ، فَإِنْ رَأَى فِيهِمَا أَذًى فَلْيُمِطْ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
Apabila kalian hendak masuk masjid, hendaknya dia lihat sandalnya. Jika dia lihat ada najis, hendaknya dia bersihkan. Dan silahkan digunakan untuk shalat. (HR. Ahmad 11452 dan ad-Darimi 1429).


Ketika kita dihadapkan pada kondisi hanya punya pakaian yang terkena najis dan kita tidak memungkinkan untuk membersihkannya, sementara waktu shalat akan habis, maka kita dihadapkan pada 3 pilihan:
- Shalat dengan pakaian najis
- Shalat dengan tidak menutup aurat
- Menunggu sampai mendapat pakaian suci, sekalipun di luar waktu shalat.

Dan semua pilihan ini kondisinya sama, kita shalat dengan keadaan tidak memenuhi salah satu syarat shalat. Karena itu, pilihan yang diberikan adalah dengan mengambil kondisi yang paling ringan.

Dari ketiga syarat di atas: batasan waktu, suci dari najis, dan menutup aurat, dikelompokkan menjadi dua:
[1] Syarat yang terkait dzat shalat, itulah batasan waktu shalat. Artinya, shalat tidak dinilai terselenggara ketika dia dilakukan di luar waktu. Tidak disebut shalat subuh jika tidak dilakukan di waktu subuh, sebagaimana tidak disebut haji, jika dilakukan di luar bulan haji.

[2] Syarat yang terkait penyempurna shalat, itulah syarat terkait pakaian dan kesucian. Artinya, shalat tetap terselenggara, sekalipun dia tidak terhitung sempurna. (Bada'i as-Shana'i, 1/117)


Kemudian, antara najis dan menutup aurat, para ulama beda pendapat dalam menentukan.

- PERTAMA, kita shalat dengan pakaian najis, tapi nanti mengulang jika mendapat pakaian suci Ini merupakan pendapat ulama Hambali dan Malikiyah.

Ibnu Qudamah mengatakan,
ومن لم يجد إلا ثوباً نجساً صلى فيه وأعاد على المنصوص
Siapa yang hanya memiliki pakaian najis, maka dia boleh shalat dengan pakaian najis itu, dan dia ulang (setelah dapat yang suci), berdasarkan keterangan Imam Ahmad. (al-Muqni' ma'a as-Syarh, 1/316) Kata al-Mardawi, ini yang dipegangi dalam madzhab hambali.

- KEDUA, kita shalat tanpa menutup aurat, sekalipun harus telanjang, dan tidak perlu diulang Ini merupakan madzhab Imam as-Syafii dan syafiiyah Imam as-Syafii mengatakan,
ولو أصابت ثوبه نجاسة ولم يجد ماء لغسله صلى عرياناً ولا يعيد، ولم يكن له أن يصلي في ثوب نجس بحال
Jika pakaiannya terkena najis, sementara dia tidak memiliki air untuk membersihkannya, maka dia shalat dengan telanjang, dan tidak perlu diulang. Dia tidak boleh shalat dengan pakaian najis sama sekali. (al-Umm, 1/57)

- KETIGA, jika najisnya kurang dari ¾ pakaian, kita shalat dengan memakai baju najis. Dan jika melebihi ¾ dari pakaian maka kita boleh memilih antara shalat sambil telanjang atau shalat dengan pakaian najis. Dan tidak perlu mengulang shalatnya.

Rincian ini merupakan pendapat madzhab hanafi. Al-Kasani – ulama hanafi – mengatakan,
فإن كان ربعه -أي الثوب- طاهراً لم يجزه أن يصلي عرياناً بل يجب عليه أن يصلي في ذلك الثوب لأن الربع فما فوقه في حكم الكمال
Jika ¼ pakaian yang dia kenakan itu suci, dia tidak boleh shalat dengan telanjang. Namun wajib baginya untuk shalat dengan pakaian itu. Karena suci ¼ ke atas, sifatnya kesempurnaan.

Lalu beliau mengatakan,
وإن كان كله نجساً أو الطاهر منه أقل من الربع فهو بالخيار في قول أبي حنيفة وأبي يوسف إن شاء صلى عرياناً وإن شاء مع الثوب لكن الصلاة في الثوب أفضل، قال محمد لا تجزئه إلا مع الثوب
Jika pakainnya semuanya najis atau bagian yang suci kurang dari 1/4 maka dia punya pilihan, menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Dia boleh shalat dengan telanjang, boleh juga shalat dengan pakaian najis. Namun shalat dengan pakaian najis lebih afdhal. Kata Muhammad bin Hasan (murid senior Abu Hanifah), Shalat tidak sah, kecuali dengan memakai pakaian. (Bada'i as-Shana'i, 1/117)

Dan pendapat yang lebih mendekati adalah kita shalat dengan pakaian najis. Karena jika ada 2 madharat, maka dipilih madharat yang lebih sempit dampaknya.Shalat berpakaian najis, hanya berdampak pada diri kita yang shalat. Sementara shalat dengan telanjang, berdampak pada diri kita dan orang lain yang melihat. Dan dianjurkan mengulangi sebagai bentuk kehati-hatian.
Allahu a'lam.
---


Lalu benarkah jika kita shalat jamaah selama 40 hari berturut-turut akan bebas dari kemunafikan?

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
Siapa yang shalat jamaah selama 40 hari dengan mendapatkan takbiratul ihram maka dia dijamin bebas dari dua hal, terbebas dari neraka dan terbebas dari kemunafikan. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad 12583, Turmudzi 241, dan yang lainnya. Ulama berbeda pendapat tentang keabsahannya. Sebagian menhasankan dan sebagian menilainya dhaif.
Dalam Fatawa Islam dinyatakan,
وهذا الحديث ضعفه أيضا جماعة من العلماء المتقدمين وأعلوه بالإرسال ، وحسنه بعض المتأخرين . انظر تلخيص الحبير 2/27
Hadis ini dinilai dhaif oleh bebrapa ulama masa silam, mereka beralasan statusnya mursal. Dan dihasankan oleh sebagian ulama mutaakhirin. (Talkhis al-Habir, 2/27. (Fatawa Islam, no. 34605)).

Kemudian, dalam riwayat lain dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسَاجِدَ، فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ}
Apabila kalian melihat ada orang yang terbiasa pulang pergi ke masjid, saksikanlah bahw adia orang mukmin. Allah berfirman
, إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ "
Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah." (at-Taubah: 18). (HR. Ahmad 11725, Turmudzi 2617, Ibn Majah 802 dan dinilai dhaif oleh al-Albani).
hadis yang berbicara masalah ini pun, statusnya memang bermasalah. Hanya saja, tingkatan dhaifnya ringan. Dan sebagian ulama membolehkan berdalil dengan hadis dhaif dalam masalah fadhilah amal, yang di sana tidak ada unsur hukum.

Dalam Fatawa Islam dinyatakan,
ولاشك أن الحرص على إدراك تكبيرة الإحرام كل هذه المدة دليل على قوة في دين الشخص .وما دام الحديث محتمل الصحة فيرجى لمن حرص على فعل ما فيه أن يكتب له هذا الفضل العظيم ، وأقل ما يحصِّله الإنسان من هذا الحرص تربية نفسه على المحافظة على هذه الشعيرة العظيمة .
Tidak diragukan bahwa semangat untuk mendapatkan takbiratul ihram, selama rentang masa ini merupakan tanda betapa dia adalah orang yang kuat agama. Selama hadis tersebut ada kemungkinan shahih, maka diharapkan bagi orang yang semangat mengamalkannya, dia akan dicatat mendapatkan keutamaan yang besar itu. Minimal yang diperoleh seseorang dengan melakukan hal itu, dia bisa mendidik dirinya untuk menjaga syiar islam yang besar ini. (Fatawa Islam, no. 34605).
Allahu a'lam

Smoga manfaat, insyaa Allah